SEJARAH
PERADABAN EKONOMI ISLAM
“PEMIKIRAN
IBN KHALDUN & AL-SYATIBI”
Disusun
Oleh :
DELLA
ARISKA
(1516140060)
Dosen
pembimbing : Ahmad Abas Musofa, M.ag
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PRODI
PERBANKAN SYARIAH
FALKUTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
2017
KATA
PENGANTAR
Puji
dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat ,sholawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad saw. Kepada
keluarga,sahabat-sahabatnya dan semua pengikutnya sampai akhir zaman.
Dan
Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Demikian
makalah ini di buat dan tentunya masih banyak terdapat kekurangan baik dalam
penulisan kata maupun makna, oleh karena itu kritik dan saran dari
Dosen,Mahasiswa dan pembaca sangat diperlukan untuk perbaikan kedepannya.
Wassalammualaikum
wr... wb
Bengkulu, 21
Mei 2017
Della Ariska
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I .... PENDAHULUAN
A. Latar
belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan
masalah ........................................................................... 1
BAB II .. PEMBAHASAN
A. Pemikiran
ekonomi Ibnu Kaldun (732-808 H/1332-1406)............. 2
1. Biografi
Ibnu Kaldun................................................................ 2
2. Karya
Ibnu Khaldun................................................................. 4
3. Pemikiran
Ekonomi Ibnu Khaldun............................................ 5
B. Pemikiran
Ekonomi Al-Syatibi (790 H/1388 M)........................... 10
1. Biografi
Al-Syattibi................................................................. 10
2. Karya
– karya Al-Syatibi ........................................................ 12
3.
Pemikiran Ekonomi
Al-Syatibi................................................ 12
BAB III . PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................... 15
B.
Saran ............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah ekonomi Islam tidak muncul dan berkembang
begitu saja. Melainkan melalui
bertahap-tahap. Sepanjang sejarah ekonomi Islam, para pemikir dan
pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian
rupa, sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai pencetus
ekonomi Islam sesungguhnya.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap
sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha,
mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejumlah cendekiawan muslim
terkemuka, sepaerti Ibnu Khaldun, Al-Syatibi dan lain sebagainya. Dalam makalah
ini akan menjelaskan biografi Ibnu Khaldun dan Al-Syatibi beserta pemikiran
ekonomi Islamnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi, karya dan pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun ?
2. Bagaimana
biografi, karya dan pemikiran ekonomi Al-syatibi ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran
ekonomi Ibnu Kaldun (732-808 H/1332-1406)
1.
Biografi Ibnu Kaldun
Nama lengkapnya adalah
Abu Zaid Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun Waliuddin Al-Tunisi Al-Handrami.[1]
Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Nenek moyangnya berasal
dari Handramaut, Yaman, yang berimigrasi ke Sevilla, Andalusia Sapanyol. Namun
ia dan keluarganya harus pindah ketika wilayah Sevilla telah ditaklukkan
Kristen dan dikuasai Kristen tahun 1248 M setelah hancurnya Dinasti Muwahiddun.[2]
Ibnu Khaldun berasal
dari garis keluarga Ilmuwan atau Intelektual. Kakeknya Muhammad sangat gemar
mempelajari ilmu-ilmu keagamaan. Ayahnya juga yang bernama Muhammad ahli dalam
bidang ilmu Tafsir dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengannya, seperti
Nahwu, Shafar Retorika dan logika (mantiq).
Ayahnyalah yang menjadi guru utama, dalam belajar menghafal al-Qur’an,
mempelajari Fisika dan Matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah
Muhammad bin Saad Burral Al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin
Abdil Muhaimin Al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim Al-Abilli. Dari
merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1349 setelah
kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk
pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun
melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan
kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya
di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok
bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, Shorof, Balaghoh, Khitabah dan Sastra.
Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), Tafsir, Hadits, Ushul Fiqh
dan ilmu Al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu Filsafat) terdiri dari:
Filsafat, Mantiq, Fisika, Matematika, Falak, Musik, dan Sejarah.
Kelompok ilmu
kenegaraan terdiri atas: ilmu Administrasi, Organisasi, Ekonomi Dan
Politik. Dalam sepanjang hidupnya Ibnu
Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von
Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun
telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila
dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk
menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat
abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
Saat usianya 20 tahun,
Ibnu Khaldun mulai tertarik dan terlibat dengan kehidupan politik, sehingga
pada tahu 755 H/1354 M. karena kemampuannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi
sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena
pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah
Muhammad, sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan, namun akhirnya dia
dibebaskan. Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin
Sulaiman, Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat
menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan
Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada tahun 1361 karena terjadi
intrik politik yang menyebabkan terbunuhnya Abu Salim, lagi-lagi Ibn Khaldun
dicurigai, dan memaksanya untuk pindah ke Granada.[3]
Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi
sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di
sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itu-pun
tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan
di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan
jabatan yang disandangnya.
Setelah kurang lebih
dua decade ia aktif di bidang politik, Ibnu Khaldun kembali ke Afrika Utara.
Disana ia mulai melakukan studi menulis intensif selama 5 tahun. Dari sinilah
namanya kemudian dikenal sangat luas.[4]
2. Karya
Ibnu Khaldun
Karya terbesar Ibnu
Khaldun adalah Al-Ibar (Sejarah Dunia). Karya ini terdiri dari 3 buah buku yang
terbagi ke dalam tujuh volume, yakni Muqaddimah
(satu volume), Al-Ibar ( 4 volume) dan Al- Ta’rif bi Ibn Khaldun (2
Volume). Secara garis besar, karya ini merupakan sejarah umum tentang kehidupan
bangsa arab, Yahudi, Yunani, Romawi, Bizantium, Persia, Goth, dan semua bangsa
yang di kenal massa itu. Seperti kebanyakan penulis pada abad empat belas, Ibn
khaldun mencapur pertimbangan-pertimbangan filosofis, sosiologis, etis, dan
ekonomis dalam tulisan-tulisannya. Sekali-kali, seuntai sajak menerangi
tulisannya. Namun demikian, Ibn Khaldun sesungguhnya sangat teratur dan selalu
menggikuti alur yang sangat logis.
Dalam Muqaddimah yang merupakan volume pertama
dari Al-Ibar, setelah memuji sejarah, Ibn Khaldun berusaha untuk menunjukkan
bahwa kesalahan-kesalahan sejarah terjadi ketika sang sejarawan mengabaikan
lingkungan sekitar. Ia berusaha mencari lingkungan fisik, nonfisik, sosial
institusional, dan ekonomis terhadap sejarah.
Akibatnya, Muqaddimah utamanya adalah buku tentang
sejarah. Namun demikian, Ibn Khaldun menguraikan dengan panjang lebar teori
produksi, teori nilai, teori distribusi, dan teori siklus-siklus yang
kesemuanya bergabung menjadi teori ekonomi umum yang koheren yang menjadi
kerangkah sejarahnya.[5]
3. Pemikiran
Ekonomi Ibnu Khaldun
Konsep pemikiran Ibn
Khaldun tentang ekonomi dapat di jabarkan sebagai berikut :
a. Konsep
uang
Ibnu Khaldun secara jelas mengemukakan bahwa emas
dan perak selain berfungsi sebagai uang juga digunakan sebagai medium
pertukaran dan alat pengukur nilai sesuatu. Juga pula uang itu tidak harus
mengandung emas dan perak, hanya saja emas dan perak dijadikan standar nilai
uang, sementara pemerintah menetapkan harganya secara konsisten. Oleh karena
itu Ibnu Khaldun menyarankan agar harga emas dan perak itu konstan meskipun
harga-harga lain berfluktuasi.
Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun diatas, sebenarnya
standar mata uang yang ia sarankan masih merupakan standar emas hanya saja
standar emas dengan sistem the gold
bullion standard, yaitu ketika logam emas bukan merupakan alat tukar namun
otoritas moneter menjadikan logam tersebut sebagai parameter dalam menentukan
nilai tukar uang yang beredar. Koin emas tidak lagi secara langsung dipakai
sebagai mata uang. Dalam sistem ini, diperlukan suatu kesetaraan antara uang
kertas yang beredar dengan jumlah emas yang disimpan sebagai back up. Setiap
orang bebas memperjualbelikan emas, tetapi pemerintah menetapkan harga emas.
b. Mekasnisme
Harga
Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya
bertambah banyak, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok menjadi
prioritas. Jadi suatu harga ditentukan oleh jumlah distribusi ataupun penawaran
suatu daerah, dikarenakan jumlah penduduk suatu kota besar yang padat dan
memiliki jumlah persediaan barang pokok yang melebihi kebutuhan dan kemudian
memiliki tingkat penawaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kota kecil
yang memiliki jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit. Yang kemudian akan
berdampak pada harga yang relatif lebih murah.
Begitu sebaliknya, supply bahan pokok suatu kota
kecil yang relatif lebih sedikit, dengan terbatasnya persediaan maka harga juga
akan relatif mahal. Sedangkan permintaan pada bahan-bahan pelengkap akan meningkat
sejalan dengan berkembangnya suatu kota dan berubahnya gaya hidup, dikarenakan
segala kebutuhan pokok dengan mudah mereka dapati dan seiring dengan
bertambahnya kebutuhan lain, maka tingkat permintaan pada bahan pelengkap akan
naik.
c. Division
of Labour
Pandangan Ibnu Khaldun bahwa apabila pekerjaan
dibagi-bagi diantara masyarakat
berdasarkan spesialisasi, akan menghasilkan output yang lebih besar. Seperti
pemikir sebelumnya Imam Al Ghazali (1058-1111 M) juga telah menyampaikan
tentang tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya
pembagian kerja, koordinasi, dan kerjasama, dengan mempergunakan contoh produk
roti yang siap dimakan dengan bantuan mungkin lebih dari seribu pekerja. Al
Ghazali menekankan kebutuhan terhadap pembagian tenaga kerja dengan
mempergunakan contoh pabrik jarum, yang kemudian sepertinya menginspirasi Adam
Smith (1723-1790 M) yang mempergunakan contoh pabrik peniti.
Ibnu Khaldun
menekankan perlunya pembagian kerja dan spesialisasi dengan menyatakan bahwa
“Menjadi jelas dan pasti bahwa seorang individu tidak akan dapat memenuhi seluruh
kebutuhan ekonominya sendirian. Mereka semua harus bekerja sama untuk tujuan
ini.Apa yang dapat dipenuhi melalui kerja sama yang saling menguntungkan jauh
lebih besar dibandingkan apa yang dapat dicapai oleh individu-individu itu
sendirian”. Konsep pembagian kerja Ibnu Khaldun ini berimplikasi pada
peningkatan hasil produksi. Sebagaimana teori division of labor Adam Smith
(1729-1790), pembagian kerja akan mendorong spesialisasi, dimana orang akan
memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan dengan bakat dan kemampuannya
masing-masing. Hal ini akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil
produksi secara total.[6]
Tenaga kerja
Manusia mencapai produksi dengan tanpa upayanya
sendiri, contohnya lewat perantara hujan yang menyuburkan ladang, dan hal-hal
lainnya. Namun demikian, hal-hal ini hanyalah pendukung saja. Upaya manusia
sendiri harus dikombinasikan dengan hal-hal tersebut.
Tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi
laba dan modal. Jika sumber produksi adalah kerja, sedemikian rupa seperti
misalnya pekerjaan kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan
adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah
penting. Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak
akan ada hasil yang berguna.[7]
d. Makro
Ekonomi dan pajak
Dalam makro ekonomi, Ibn Khaldun meletakkan dasar
dari apa yang disebut keynes dengan aggregate
effective demand, multiplier effect
dan equality of income and expenditure. Ketika ada lebih banyak
total permintaan karena ada peningkatan populasi,
maka akan ada lebih banyak produksi, laba, dan pajak. Ibn khaldun menjadi
kontributor yang pertama dan utama untuk mengunakan teori pajak dalam sejarah.
Ia menjadi filsuf yang menentukan
pikiran beberapa penguasa sepanjang sejarah. Lebih baru-baru ini dampaknya
terlihat jelas pada J.F. kennedy dan kemudian Ronald Reagan. Menurut Ibn
khaldun, hasil pajak meningkat karena kemakmuran bisnis dengan pajak yang tidak
berlebihan. Ia kemudian yang menjadi yang pertama dalam sejarah untuk
meletakkan pondasi bagi suatu teori untuk jumlah maksimum tingkat perpajakkan, suatu teori yang telah mempengaruhi advokat terkemuka zaman ini seperti Arthur
Laffer dan yang lainnya. Kurva Laffer yang terkenal tak lain hanya suatu
presentasi grafis yang menyangkut teori perpajakan yang dikembangkan oleh Ibn
Khaldun di pada abad 14.[8]
Peningkatan pajak terkait langsung bagaimana peranan perusahaan swasta dan
negara dalam pembangunan ekonomi, baginya negara juga factor penting dalam
produksi. Melalui pembelanjaannya,
negara mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya mampu melemahkan
produksi. Karena pemerintah membangun
pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua
pembangunan, penurunan dalam belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan
usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan
penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, kemungkinan
semakin baik bagi perekonomian.
Belanja tinggi memungkinkan pemerintah untuk
melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum,
peraturan dan politik. Tanpa stabilitas peraturan dan politik, produsen tidak
mempunyai insentif untuk memproduksi. Menurut Ibnu Khaldun insentif bekerja
dipengaruhi oleh pajak. Pajak yang tinggi akan menurunkan produksi dan
populasi. Pajak yang tinggi menyebabkan dis-insentif bagi masyarakat untuk
berproduksi dikarenakan bertambahnya struktur biaya yang akan dibebankan ke
konsumen. Selain itu pajak yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya populasi
penduduk karena mendorong terjadinya emigrasi ke wilayah atau negara lain.
Sehingga pada akhirnya akan menurunkan pendapatan pajak akibat menurunnya basis
pajak (baik objek maupun subjek pajak). Ia juga menyimpulkan bahwa “faktor
terpentin untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak
bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan
lebih besar (setelah pajak)”.
Disini ia menjelaskan dengan menyatakan bahwa “ketika pajak dan bea cukai ringan,
rakyat akan memiliki dorongan untuk lebih aktif
berusaha. Bisnis bagaimanapun juga akan mengalami kemajuan, membawa
kepuasan yang lebih besar bagi rakyat
karena pajak yang rendah dan penerimaan pajak juga meningkat, secara total dari
jumlah keseluruhan penghitungan pajak.” Ibnu Khaldun menulis bahwa pajak harus
dikenakan secara proporsional sesuai dengan kemampuan pembayar pajak. Dalam
konteks perpajakan modern, berarti progressive tax seperti pajak penghasilan harus digalakkan melalui
perbaikan data base dan administrasi perpajakan; sedangkan pajak tak langsung
seperti PPN yang mengikis daya beli seluruh rakyat harus segera dihapuskan.
Penghapusan PPN akan menurunkan harga barang secara spontan, sehingga permintaan akan meningkat. Naiknya permintaan,
sepanjang didukung iklim investasi yang kondusif, akan mengundang investor
untuk menanamkan modalnya dan menciptakan penawaran. Berinteraksinya permintaan
dengan penawaran akan menciptakan keuntungan pada perusahaan, yang selanjutnya
akan dipungut pajaknya oleh administrasi perpajakan yang rapi dan jujur,
sehingga penerimaan negara pun meningkat.[9]
e. Perdagangan
Internasional (Foreign Trade)
Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa barang akan menjadi
lebih berharga dengan diperdagangkan lintas negara karena kepuasan masyarakat,
laba pedagang, dan kesejahteraan negara semuanya akan meningkat (gains from
trade). Ia juga menekankan peranan pembagian kerja internasional yang lebih
didasarkan pada keterampilan penduduk dari masing-masing negara. Menurutnya,
pembagian kerja internasional tidak didasarkan pada sumbersumber kekayaan
alamnya. Teori Ibnu Khaldun mengandung embrio dari teori perdagangan internasional,
disertai suatu analisa tentang syarat pertukaran antara Negara kaya dengan
negara-negara miskin dan tentang kecenderungan alamiyah untuk impor dan ekspor.
Selain itu ia juga memaparkan proses
perkembangan kumulatif yang disebabkan oleh infrastruktur intelektual
suatu negara. Dimana semakin berkembang suatu negara, semakin banyak modal dan
organisasi infrastruktur intelektualnya. Karena orang-orang yang terampil
ditarik oleh infrastruktur ini dan datang untuk hidup dalam negeri ini. Hal
inilah yang kemudian menjelaskan suatu proses kumulatif yang menjadikan
negeri-negeri kaya semakin kaya dan negeri miskin bertambah miskin.
B.
Pemikiran
Ekonomi Al-Syatibi (790 H/1388 M)
1.
Biografi Al-Syattibi
Al-Syatibi adalah
seorang cendikiawan muslim yang belum terkenal di masanya. Beliau bernama
lengkap Ibrahim bin Musa, bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Ghamathi Abu Ishak, yang
lebih dikenal dengan sebutan Al-Syatibi yang dijuluki dengan Al-Imam
Al-lAlaamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), Al-Muhaqqiq (yang memiliki
kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberi
solusi), Al-Qudwah (yang pantas didkuti), Al-Hafizh (yang telah menghafal dan
menjaga ribuan hadits) dan Al-Mujtahid (yang mampu mendayagunakan kemampuan
untuk menghasilkan hukum). Kata “Al-Syatibi” yang merupakan ‘alam laqab yang
dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatibah atau Jativa), yang
terletak di kawasan Spanyol bagian timur. Dan beliau berasal dari Suku Arab
Lakhmi. Meskipun Al-Syatibi dinisbatkan kepada negeri itu, diduga keras ia
tidak lahir di sana. Karena kota tersebut sebelumya telah dikuasai oleh
orang-orang Kristen atau jatuh ke tangan Kristen, dan orang-orang Islam telah
diusir dari sana sejak tahun 1247 (645 H) atau hamper satu abad sebelum
Al-Syatibi dilahirkan.[10]
Al-Syatibi dibesarkan
dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang
merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan
dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa
keemasan umat Islam setempat. Karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan
berdirinya Universitas Granada. Dalam bermadzhab, Al-Syatibi menganut madzhab
Maliki dan mendalami berbagai ilmu, baik berupa ‘ulum al-wasa’il (metode)
maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat).[11]
Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami :
a. Bahasa
Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn
Ahmad Al-Syatibi dan Abu Ja’far al-Syaqwari.
b. Hadis
dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani.
c. Ilmu
kalam dal falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi.
d. Ilmu
ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu
Abdillah bin Ah,ad al-Syarif al-Tilimsani.
e. Ilmu
sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi
Di samping ia bertemu
langsung atau belajar langsung kepada gurunya di atas, ia juga melakukan
korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti
mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nasfi al-Rundi.
Walaupun Al-Syatibi
banyak mempelajari ilmu, namun ia lebih bertminat terhadap bahasa Arab,
khususnya ushul fiqih. Karena metode dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor
penentu terhadap kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan
sosial.
2.
Karya – karya Al-Syatibi
Dikatakan bahwa
Al-Syatibi telah menulis ratusan karya dalam berbagai bidang yang sangat
penting dan bermanfaat. yang mana akan saya sampaikan dalam beberapa karyanya
saja.
Berikut adalah daftar
karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa literature klasik.
a. Syarh
Jalil ‘ala al-Khulasa fi al-Nahw. ( masih berbentuk manuskrip )
b. ‘Unwan
al-Ittifaq fi‘Ilm al-Isytiqaq.
c. Kitab
Ushul al-Nahw.
d. Al-Ifadat wa al-Irsyadat Insya’at. ( Tercetpat
)
e. Kitab al-Majlis. ( masih berbentuk manuskrip )
f. Kitab
al-I‘tisam.( Tercetak )
g. Al-Muwafaqat.
( Tercetak )
h. Fatawa.
(Tercetak )
i.
Syarh rijzu ibnu malik
fi al nahw ( masih berbentuk manuskrip )
j.
Risalah fil adab
(tercetak)[12]
3. Pemikiran
Ekonomi Al-Syatibi
a. Objek
Kepemilikan
Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik
individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya
yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah
objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seseorang pun.
Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat
dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang
bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah
milik individu. Lebih jauh, ia
menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapa di klaim terhadap sungai
dikarenakan adanya pembangunan dam.
b. Pajak
Dikutip dari tulisan Muhammad Khalid Masud dalam
bukunya yang berjudul Shatibi‟s Philosophy
of Islamic law, dikatakan bahwa dalam tiga fatawa Al-Syatibi yang
menyangkut tentang pajak, Syatibi berangkat dari sudut pandang tradisoinal. Lopez Ortiz menerjemahkan hal ini
sebagai kemampuan dari seorang ahli ekonomi. Dua dari fatwa tersebut menyangkut
tentang kharaj dan zakat. Pada saat keadaan keuangan memburuk, Sultan memungut
pajak tambahan. Salah satu dari pengutipan ini adalah pajak pada pembangunan
dinding di sekitar Granada.
Mufti dari Granada yakni Ibnu Lubb, mengumumkan
pajak-pajak yang tidak sah, karena pajak-pajak tersebut tidak ada dalam
Syariah. Syatibi tidak setuju dengan Ibnu Lubb Menurut Syahtibi, pemungutan
pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah. Yang ia maksud sebagai
maslahah di sini yaitu sesuatu yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan
manusia, terpenuhinya kebutuhan manusia dan diperolehnya apa yang diperlukan
oleh sifat emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak Sebagaimana pendapat pendahulunya, al-Ghazali
dan Ibnul Farra‟, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara
esensial adalah tanggung jawab masyarakat.[13]
Jika ditinjau dari defenisi maslahah ini, tanggung
jawab Bait al-Mal (baca: Negara) menjadi luas dan fleksibel. Konsekuensinya,
pembelanjaan publik memiliki ruang lingkup luas yang dibatasi oleh maslahah Ini
menunjukkan, Negara wajib menggunakan dana publik untuk jenis aktivitas yang
dapat memajukan maslahah. Yang termasuk wajib berarti pelaksanaannya bukan
menjadi kewajiban individu tertentu, tapi pelaksanaannya berpindah ke seluruh
individu, sehingga kepentingan umum terpelihara, yang tanpanya kepentingan
individu tidak akan aman. Yang Dalam kondisi tidak mampu melaksanakannya,
masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul mal dan menyumbangkan sebagian
kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, menurut
Syahtibi, pemerintah dapat memungut pajak-pajak baru terhadap rakyatnya meski
pajak-pajak tersebut belum dikenal sebelumnya dalam sejarah Islam.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan
lagi Ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak
ekonomi Islam, tapi Bapak ekonomi Dunia. Dengan demikian, sesungguhnya
beliaulah yang lebih layak disebut Bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang
diklaim Barat sebagai Bapak ekonomi melalui buku The Wealth of Nation.. Karena
itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar umat Islam tidak sesat dalam
memahami sejarah intelektual umat Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan
pemikiran Ibnu Khaldun secara detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula
pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini.
Dari uraian di atas kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa Al-Syatibi:
1. Imam
al-Syatibi merupakan salah seorang pemikir Islam yang hidup pada keemasan Islam
di Granada karena kota itu menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya
Universitas Granada. Al-Syatibi merupakan intelektual Islam yang memiliki
Karya-karya monumentalnya yang bisa dinikmati sampai sekarang, antara lain: al-Muwafaqat
fi Ushul, al-Syari’ah, al-I’tisham, dan al-Ifadat wa al-Isyadat.
2.
Konsep maslahah sangat
relevan dengan pengembangan ekonomi syariah sehingga implementasi nilai-nilai
maslahah penting dilakukan untuk membangun sistem ekonomi yang holistis.
B.
Saran
Meskipun penulis
menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya
masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih
minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke
depannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bali, Fuad.1998 .Society State and Urbanism:
Ibnu Khaldun’S Sociologicat Thought, New York: State University of New York
Press.
Raliby, Osman. 1965. Ibnu Chaldun Tentang
Masjarakat dan Negara, Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang.
Syafi’i, Ahmad. 1996. Ibnu Khaldun dalam pandangan penulis barat dan timur, Jakarta: Gema
Insani press.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori
Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media
Karim, Adiwarman Azhar. 2012. Sejarah Pemikir Ekonomi Islam ,
Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Chamid, Nur. 2010. jejak
langkah sejarah pemikiran ekonomi islam, yogyakarta: pustaka pelajar.
[1] Fuad
Baali, Society, State and Urbanism: Ibnu Khaldun’S Sociologicat Thought.(New
York: State University of New York Press, 1988) hlm.1.
[2] Osman
Raliby, Ibnu Chaldun Tentang Masjarakat dan Negara.( Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1965) hlm 3.
[3] Ahmad
Syafi’i.Ibnu Khaldun dalam pandangan
penulis barat dan timur. (Jakarta Gema Insani press 1996). Hal 13.
[5] Adiwarman
Azhar Karim, Sejarah Pemikir Ekonomi Islam ( Raja Grapindo
Persada, Jakarta 2012 ). hal 393-394
[6] Nur
Chamid, jejak langkah sejarah pemikiran ekonomi islam, ( pustaka pelajar , yogyakarta
2010 ), hal 252-253
[7] Nur
Chamid, jejak langkah sejarah pemikiran ekonomi islam, ( pustaka pelajar , yogyakarta
2010 ), hal 249-253
[8] Nur
Chamid, jejak langkah sejarah pemikiran ekonomi islam, ( pustaka pelajar , yogyakarta
2010 ), hal 254
[9] Nur
Chamid, jejak langkah sejarah pemikiran
ekonomi islam, ( pustaka pelajar , yogyakarta 2010 ), hal 254-256
[11] Nur
Chamid, jejak langkah sejarah pemikiran
ekonomi islam, ( pustaka pelajar , yogyakarta 2010 ), hal 277-279
[12] http://aryasalingsingan.blogspot.co.id/2015/03/biografi-imam-al-syatibi.html tanggal diakses 19 mei 2017 jam 12:59 Wib
[13] https://www.scribd.com/doc/195256667/Pemikiran-Ekonomi-as-Syatibi. tanggal diakses 19
mei 2017 21:14 WIB
[14] Adiwarman
Azhar Karim, Sejarah Pemikir Ekonomi Islam ( Raja Grapindo Persada,
Jakarta 2012 ). hal 385-386
yang mau tahu info tentang informasi seputar jaringan komputer silahkan KLIK DISINI
yang mau tahu info tentang informasi seputar jaringan komputer silahkan KLIK DISINI